Inspirasi Hidup Suku Bajo Selayar Dari Piagam Latondu
Oleh : Muh. Yakub, S.I.Kom (Direktur Eksekutif Same Sulaya Indonesia)
Sebagai warga negara Indonesia khususnya masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar, ketika mendengar kata “Taka Bonerate” patutlah kita berbangga memiliki kawasan laut yang indah dengan status Taman Nasional dan predikat Atol Terbesar Ketiga Dunia.
Namun, dapatkah kebanggaan itu kita wariskan kepada generasi mendatang?. Tatkala pertanyaan itu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, mungkin saja kita akan memiliki jawaban yang seragam dengan nada pesimistis. Seolah, harapan “Taka Bonerate Lestari” jauh panggang dari api.
Membincang Taka Bonerate, membuat kita terpaku pada dua premis yang seolah menjadi paradigma paten yang kaku : pertama, Taka Bonerate dengan segala potensinya; kedua, Taka Bonerate dalam ancaman kehancuran. Semua pihak menyanjung potensinya, pun di saat yang sama menyampaikan kekhawatiran terhadap kelestariannya.
Bahkan media menjadi bingung dalam pemberitaan, karena tidak semua segmen akan mewartakan potensinya, media dipaksa oleh fakta perilaku illegal fishing masyarakat lokal yang menghancurkan ladang hidup mereka sendiri. Fakta itu harus diakui masih berlangsung marak hingga kini.
Hampir setiap pekan kita membaca berita masyarakat pelaku illegal fishing ditangkap oleh aparat; terkena dekompresi akibat menyelam ikan bom-membius ikan; cacat fisik akibat bom meledak di tangan; bahkan tidak sedikit nyawa langsung melayang di tempat pengeboman.
Hal tersebut menjadi pemandangan buruk bagi Taka Bonerate yang tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang wajib kita selesaikan bersama. Lalu, bagaimana kita mengurai kembali harapan Taka Bonerate Lestari?.
Harapan itu telah muncul bersamaan dengan hadirnya Balai Taman Nasional Taka Bonerate (TNTBR) sebagai lembaga pemerintah yang konsen terhadap pelestarian TNTBR.
Namun, tugas itu akan terasa berat bagi Balai TNTBR tanpa keterlibatan semua pihak. Kawasan TNTBR (Kawasan) dalam mengemban tugas berhadapan dengan kondisi Kawasan Laut TNTBR yang cukup luas, minimnya mata pencaharian alternatif, diperparah lagi oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal. Tidak ada pilihan lain, selain semua pihak mesti mengambil bagian dalam tugas mulia itu, khususnya masyarakat dan Pemerintah Desa di Kawasan.
11 Oktober 2016, lonceng pelestarian TNTBR kembali ditabuh ditandai dengan penandatanganan Piagam Latondu oleh semua Kepala Desa di Kawasan bersama Bupati Kepulauan Selayar dan Kepala Balai TNTBR.
Piagam Latondu adalah komitmen semua Kepala Desa di Kawasan untuk terlibat aktif terhadap upaya pemberdayaan masyarakat dan pelestarian TNTBR. Piagam Latondu menjadi angin segar bagi kita semua karena tuan rumah sudah punya tekad yang kuat untuk menjaga rumah sendiri.
Pemilik ladang akan bertanggungjawab mengawasi ladang sendiri. Kira-kira begitulah ibaratnya angin segar yang dapat kita rasakan dengan hadirnya Piagam Latondu.
Sekalipun usia Piagam Latondu masih terbilang muda, evaluasi keberhasilannya dapat kita proyeksikan kini. Kalau semua pihak, khususnya yang bertanda tangan dalam Piagam Latondu minus langkah implementasi, maka dapat kita pastikan bahwa Piagam tersebut hanya akan menjadi penghias dinding.
Enam poin komitmen isi Piagam Latondu mesti diikuti oleh agenda kegiatan. Hal pertama yang dapat diagendakan yaitu sosialisasi. Kita mengharapkan Piagam Latondu tersosialisasi kepada semua masyarakat Kawasan. Pemerintah Desa di Kawasan dan Duta Karang Desa adalah sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk mensosialisasikan Piagam tersebut.
Masalah illegal fishing di TNTBR diibaratkan lingkaran setan. Lingkarannya panjang dan rumit. Piagam Latondu akan menjadi pisau bedah, yang akan memotong jantung masalahnya, kalau keseluruhan isi Piagam tersebut terimplementasi dengan baik.
Komitmen semua pihak menjadi kunci harapan itu dititip. Seyogyanya Pemerintah Desa di Kawasan mengambil kebijakan yang real untuk mengimplementasikan Piagam Latondu. Kebijakan itu mesti tertuang dalam perencanaan pembangunan desa (RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa).
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dan Balai TNTBR bertanggung jawab untuk memberikan stimulan dan mendukung sepenuhnya Kebijakan Pemerintah Desa di Kawasan untuk mewujudkan visi Piagam Latondu. Harapan terwujudnya visi Piagam Latondu, juga dititip kepada RARE Indonesia, WWF Indonesia dan WCS Indonesia sebagai bagian penting lahirnya Piagam Latondu. Akhirnya, kita tidak ingin lagi mendengar kalimat awam
“kalau ingin sejahtera harus mengebom dan membius”, kita tidak ingin lagi menyaksikan masyarakat Kawasan cacat seumur hidup akibat dari mengebom, kita tidak ingin lagi melihat tubuh mayat berserakan di laut akibat dari ledakan bom. Visi Piagam Latondu diharapkan bermuara pada lahirnya prinsip pelestarian “
Dari Masyarakat, Oleh Masyarakat, dan Untuk Masyarakat”. Kalau kesadaran masyarakat sudah tumbuh untuk menjaga kelestarian TNTBR, itu artinya hampir keseluruhan Pekerjaan Rumah kita telah terselesaikan.