MEDIA SELAYAR - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 terpublikasi menampilkan kejutan besar di pos Transfer ke Daerah (TKD). Dimana disebutkan bahwa pemerintah pusat hanya menyiapkan Rp649,9 triliun, turun drastis dibanding outlook tahun anggaran 2025 yang mencapai Rp864 triliun.
Jumlah dalam angka tertulis dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, dan langsung memunculkan pertanyaan benarkah pemotongan ini demi efisiensi, atau justru tanda bahwa ruang fiskal daerah makin menyempit?
Hal ini juga dikuatkan oleh penjelasan dan bincang pemerhati pembangunan Selayar bahwa dana transfer ke daerah pada tahun anggaran 2026 yang akan datang, kemungkinan besar akan membuat pemerintah daerah kalang kabut dalam hal belanja dan pembiayaan pembangunan, seperti infrastruktur dasar dan layanan dasar, mengingat APBD Kabupaten Kepulauan Selayar sampai saat ini masih bergantung pada TKD dari APBN.
Referensi dan catatan yang ada menulis bahwa sejak tahun 2021, TKD cenderung meningkat, Rp785,7 triliun di 2021, naik hingga Rp864 triliun di 2025.
Tapi pada tahun anggaran depan 2026, angka grafiknya menurun curam ke Rp649,9 triliun.
Penurunan ini mencerminkan hal beban fiskal pusat yang makin berat, serta dorongan agar daerah lebih hemat, jelas salah seorang pemerhati.
Seperti diketahui sebelumnya dalam tahun 2025 pasca dilantik, Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Inpres No. 1/2025 untuk menutup celah kebocoran dan memaksa daerah segera menggunakan dana yang sering mengendap di kas.
Sejak 2023, TKD resmi berbasis kinerja sesuai UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).
Skemanya sederhana, daerah yang efektif akan menerima lebih, sementara yang boros atau lambat menyerap bisa kehilangan alokasi.
Secara konsep, ini memicu persaingan sehat. Namun di lapangan, ia berpotensi memperlebar jurang.
Daerah dengan sumber daya melimpah dan birokrasi kuat diuntungkan. Sebaliknya, daerah tertinggal berisiko makin tertekan.
Seorang pengamat fiskal dari Universitas Indonesia mengingatkan, “Desentralisasi fiskal tak cukup diukur dari besaran transfer. Kapasitas institusi daerah harus jadi perhatian, atau kebijakan berbasis kinerja justru jadi bumerang.”
Program Prioritas Membengkak
Kontradiksi muncul saat melihat program prioritas pemerintah 2026 yang justru melonjak ke Rp1.300 triliun. Mulai dari program Makan Bergizi Gratis, BOS, KIP Kuliah, PBI Jaminan Kesehatan, subsidi energi, hingga pembangunan lumbung pangan.
Beban ini sebagian akan menyentuh daerah. Pertanyaan besar pun muncul dengan TKD menyusut, bagaimana daerah membiayainya?
Apakah pusat siap menanggung penuh, ataukah daerah dipaksa mencari sumber baru melalui pajak lokal?
Dengan belanja wajib yang tetap tinggi—gaji ASN, operasional layanan publik, dan infrastruktur dasa ruang fiskal daerah bisa kian sempit.
Pemerintah menyebut pengurangan TKD sebagai langkah memperkuat sinergi pusat–daerah. Namun kritik berkembang: jangan-jangan ini justru arah baru sentralisasi fiskal?.
Contoh Dana Desa yang diarahkan untuk program Koperasi Desa Merah Putih, meski mulia, rawan jadi jargon politik jika pengawasan lemah.
Selain itu, TKD 2026 juga didorong untuk membiayai skema kreatif atau inovatif. Masalahnya, tidak semua daerah punya kapasitas untuk mencari pembiayaan alternatif.
Realitas di Balik Angka
Pada akhirnya, keberhasilan TKD tidak bisa diukur hanya lewat tabel anggaran negara. Sejarah menunjukkan masalah klasik: rendahnya penyerapan, lemahnya perencanaan, hingga praktik korupsi di tingkat lokal.
Pertanyaan mendasar tetap sama: apakah TKD yang lebih ramping akan benar-benar menumbuhkan efisiensi, atau justru memperdalam ketimpangan?
Karena rakyat tidak menilai dari neraca fiskal, melainkan dari sekolah desa yang tak lagi bocor, puskesmas yang melayani tanpa antre panjang, dan jalan desa yang bisa dilalui petani untuk mengangkut hasil panen.
Seperti dikutip dari Portal Pengamat Ekonomi Nasional melalui pemberitaan media.(*).