MEDIA SELAYAR. Kesan bahwa partai-partai politik berancang-ancang terlalu jauh menyongsong pemilu tahun depan mungkin berlebihan. Walau begitu, tak ada yang bisa melarangnya. Tak ada pula yang patut mencibir selama ada pertanyaan kritis mengenai alasan-alasan fundamentalnya.
Di antara semua ancang-ancang itu adalah manuver saling lirik untuk menjajaki kemungkinan memasangkan jago masing-masing sebagai kandidat presiden dan wakil presiden. Misalnya yang dilakukan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan--dua partai yang sepanjang masa reformasi cenderung seperti pasangan yang benci tapi rindu.
Gagasan menyandingkan calon dari dua kekuatan politik yang memiliki kursi terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat itu muncul dalam Silaturahmi Nasional Dewan Penasihat Partai Golkar di Jakarta, tiga hari lalu. Jika dihitung dari saat perpisahan keduanya pada 2004, sebenarnya hal ini bukan yang pertama.
Pertemuan petinggi kedua partai itu tahun lalu sudah pula menjadikannya wacana. Tapi yang belakangan itu dilakukan dengan urgensi--setidaknya begitulah kesan yang hendak disiarkan--yang lebih genting. Semacam keniscayaan, begitu. Dalam kata-kata Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, “Kalau berkoalisi, bangsa ini bisa bersatu dan tidak terpecah belah.”
Untuk kalangan yang memandang partai sebagai kubu ideologis, yang dengan cara apa pun bakal sulit melakukan “perkawinan”, langkah yang akan--dan pernah--dijalankan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tentu merupakan kemustahilan. Tapi, di Indonesia, kongsi semacam itu justru tak terelakkan demi memperoleh kemenangan dalam pemungutan suara untuk memilih pemimpin negara.
Penyebab paling kentara kecenderungan itu tak lain adalah fragmentasi politik yang kian tak terbendung. Hal inilah faktor penting yang meningkatkan jumlah partai politik peserta pemilu. Fragmentasi menyebabkan suara pemilih terbelah-belah.
Akibatnya, tak ada partai yang bisa benar-benar jadi mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat, dan kemenangan mutlak dalam pemilihan presiden hanya mungkin dilakukan jika partai-partai besar berkoalisi.
Situasi labil dan pelik yang diperkirakan bakal terus terjadi di masa depan itu tak datang dari ruang hampa. Kelemahan partai jugalah biang keladinya. Oleh pemilih, partai dianggap tak benar-benar mewakili mereka.
Kekecewaan timbul. Massa mengambang pun bertambah besar. Untuk mencoba menjaring suara pemilih yang mutung itulah partai-partai baru didirikan. Tak adanya mekanisme penyaringan yang ketat, pada gilirannya, membuka lebar-lebar peluang terus berderetnya jumlah partai.
Selama partai gagal menjalankan fungsinya, yakni menjadi representasi dan mediator pemilihnya dan bukan jadi ajang kepentingan anggotanya, fenomena tersebut akan terus terjadi, berputar-putar tanpa henti.
Dengan kata lain, yang sesungguhnya diperlukan bukan hanya koalisi untuk menyandingkan jagoan masing-masing, seperti hendak dilakukan Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Yang mesti diwujudkan dan tak bisa ditawar-tawar adalah bekerja sungguh-sungguh, dengan jujur dan tulus, untuk pemilih, untuk rakyat.
Trending Now
-
MEDIA SELAYAR - Pencuri beraksi masuk rumah warga di Jalan MKR. Bonto, Kelurahan Benteng Kecamatan Benteng Kabupaten Kepulauan Selayar pada...
-
MEDIA SELAYAR. Kepolisian Negara Republik Indonesia membuka jalur khusus melalui Rekrutmen Proaktif kategori Affirmative Action, untuk putr...
-
MEDIA SELAYAR - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 terhitung masih agak lama, namun aroma panasnya kontestasi poli...
-
MEDIA SELAYAR - Banjir landa perbatasan Dusun Nangkala dan Dusun Silolo Desa Lalang Bata, Kecamatan Buki, Kabupaten Kepulauan Selayar Sulse...
-
MEDIA SELAYAR. Unit Patroli Bermotor (Patmor) Satuan Sabhara Polres Kepulauan Selayar mengamankan sebanyak 15 unit kendaraan roda dua dari t...